SEARCH..

form action="http://nama-blogmu.blogspot.com/search" method="get">

Selasa, 09 September 2014

Panas Jakarta dan Ramalan 'Neraka' di Bumi

9 september 2014
16.24

Jakarta - Siang itu, Senin 8 September 2014 sekitar pukul 11.00 WIB, Mismin berdiri di tepi trotoar di sisi jalan sebuah mal di Jakarta Selatan. Hanya topi hitam yang ia kenakan untuk menghindari sengatan sinar matahari.
“Jakarta sekarang lebih panas. Hawanya menyengat. Kalau sudah begitu suka pusing,” kata pria yang berprofesi sebagai satpam itu, ambil mengelap peluh di wajahnya.
Cuaca panas, terutama di siang hari, ramai dikeluhkan warga Jakarta. Juga lewat obrolan di media sosial.
Panasnya Jakarta juga dirasakan Wagub Basuki Tjahaja Purnama, yang mengenakan kacamata polikromatiknya -- di dalam ruangan transparan, berubah gelap di bawah sengatan Matahari.
“Memang perubahan iklim sudah terjadi dan memang terjadi juga di Jakarta,” kata pria yang akrab disapa Ahok ini saat dimintai komentar tentang cuaca Jakarta yang bikin pening, di Balaikota Jakarta, 5 September 2014.
Lalu apa solusinya? “Paling itu aja sih, kalau menurut saya buat taman yang banyak di Jakarta,” jawab pria yang sebentar lagi jadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi itu.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, suhu udara di Jakarta pada awal September ini berkisar antara 33-34 derajat Celcius. Di atas normal, tapi belum ekstrem.
Kepala Sub Bidang Cuaca Ekstrem BMKG M Fadli mengatakan, suhu normal Jakarta rata-rata berkisar antara 24-33 derajat Celcius.
Kok panas? “Hal ini disebabkan oleh radiasi atau sinar matahari yang masuk langsung atau directmasuk ke permukaan Bumi. Karena tak adanya atau sedikitnya awan yang ada di atas wilayah Jakarta,” papar Fadli.
Fadli menjelaskan, untuk bisa dikategorikan ekstrem, temperatur harus naik 3 derajat Celcius di atas normal. “Contohnya, Jakarta temperatur normal rata-ratanya 33 derajat Celcius. Bisa dikatakan ekstrem bila temperaturnya 36 derajat Celcius,” tutur Fadli. Dan, cuaca ekstrem biasanya terjadi saat musim transisi atau musim peralihan.
Sementara, Kepala Bidang Informasi Iklim BMKG Evi Lutfiati mengakui, ada pergeseran musim di Indonesia. Musim hujan yang biasanya terjadi pada bulan berakhiran ‘ber’, seperti September, Oktober, November, dan Desember kini bergeser. Dampak paling signifikan dirasakan para petani. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Bumi Makin Panas)
Secara terpisah, Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Parwati Sofan mengatakan, berdasarkan analisa dari Satelit Landsat tahun 2007-2012 diketahui, terjadi peningkatan suhu permukaan di sebagian wilayah DKI Jakarta. Dia mengatakan, indeks vegetasi tingkat kehijauan tanaman atau (Normalized Difference Vegetation Index/NDVI) setiap tahunnya di Jakarta mengalami penurunan.
“Hal ini berarti penurunan luas kawasan hijau di wilayah DKI Jakarta telah meningkatkan suhu permukaan di wilayah tersebut. Data terakhir tahun 2013 nampaknya indeks kehijauan dari NDVI menurun,”.
“Hal ini mengindikasikan semakin sempitnya lahan yang bervegetasi karena perluasan pemukiman,” imbuh dia.
Kenaikan suhu pun berdampak kepada kehidupan manusia dalam hal ini bidang ekonomi seperti kelelahan, produktivitas pekerja hingga ke masalah kesehatan. Akibat panas, sejumlah kasus kesehatan terjadi seperti gangguan penapasan, stres, stroke, hingga gangguan sistem peredaran darah atau kardiovaskular.

"Suhu udara rata-rata tahunan pada sebuah pada sebuah kota dengan 1 juta penduduk atau lebih akan berada pada 1-3 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan dengan daerah pedesaan sekitarnya, sedangkan perbedaan suhu pada kondisi malam hari yang cerah dengan kecepatan angin yang lemah akan lebih tinggi, yakni sekitar 12 derajat Celcius," imbuh Parwati.
Untuk mereduksi pengaruh atau dampak dari urban heat island (UHI), beberapa cara dapat dilakukan seperti penanaman vegetasi atau penyediaan ruang terbuka hijau (RTH). Penggunaan bahan material bangunan, penutup trotoar, penutup areal parker juga sangat berpengaruh terhadap kenaikan suhu permukaan dan atmosfer di perkotaan.
Kondisi ini diakui Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Nanang Sunandar. Dia mengatakan, Jakarta saat ini baru 9,8% dari 30% jatah kawasan hijau yang terpenuhi. Dan untuk taman kota, jumlahnya baru sekitar 4-5%.
Dia mengaku, mengalami kesulitan dalam pembebasan lahan untuk (RTH). Padahal, ada beberapa jenis tanaman yang baik untuk menyerap zat-zat polusi atau polutan.
“Seperti pohon bintaro dan Sansevieria. Fungsi penyerap polutannya tinggi, bagus,” kata Nandar.
Panas di Kota Dingin
Bandung tak sedingin dulu. Suhu maksimum Kota Kembang saat ini bisa mencapai 33 derajat Celcius. Nyaris sepanas Jakarta. Hal ini diakui prakirawan BMKG Jabar Jadi Hendarmi.
“Saya rasa saat ini Bandung semakin lama kok semakin panas karena faktor adanya perkembangan ledakan penduduk, lalu tatanan wilayah seperti tutupan lahan yang sekarang berkurang, penebangan hutan,” ujar Jadi.
Tak cuma Bandung, Kota Bogor, Jabar sedang kemarau juga meningkat suhunya. Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Klas I Dramaga Bogor Hendri Antoro menuturkan, suhu di Kota Hujan itu ketika siang hari tembus 31-33 derajat Celcius. Jauh berbeda dengan rata-rata suhu normalnya. “Rata-rata suhu normal per hari mencapai sekitar 26 dan 27 derajat Celcius,” ujar Hendri.
Panasnya Kota Bogor diamini seorang warga, Firman Hanafi. Menurut dia, dulu begitu mudah menemukan lumut di setiap pohon di Bogor. Namun kini, lumut-lumut mulai menghilang.
“Ketika tahun 1970 sampai 1980-an suhu di Bogor itu sejuk, bahkan ketika turun hujan kerap terjadi hujan es. Sekarang Kebun Raya Bogor (KRB) saja sudah panas,” kata Firman.
Sementara Kota Malang masih beruntung. Suhu kota itu pada kemarau bulan Agustus 2014 ini tercatat antara 19-29 derajat Celcius. Dengan suhu rata-rata mencapai 23,6 derajat Celcius.
Suhu kota ini pernah mencapai puncaknya saat 22 Oktober 2002 silam. Yakni mencapai 33,8 derajat Celcius.
Namun untuk Kota Apel ini, perubahan iklim dan pemanasan global tak sekadar isu.
Dari tahun ke tahun lahan perkebunan apel terus bergeser ke tempat lebih tinggi. Padahal dulu tanaman apel bisa tumbuh di dataran rendah.
Sementara di Kabupaten Sanggau, Kalbar, saat musim kemarau, anak-anak bisa main bola di tengah Sungai Kapuas. “Waktu musim kemarau, Sungai Kapuas mengering hingga muncullah pasir di tengah-tengahnya. Warga di sini bermain bola pada pukul 16.00,” kata warga, Anas.
Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Abetnego Tarigan melihat, ancaman pemanasan global telah menunjukkan gejalanya. Hal ini dirasakannya setelah melihat berbagai fenomena, seperti kekeringan di beberapa wilayah Indonesia, naiknya suhu permukaan laut, dan tergerusnya kawasan pesisir.

"Pemanasan global semakin terasa,"
Dia mengatakan, banyak hal yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Yakni, adanya emisi kendaraan bermotor dan industri, alih fungsi hutan menjadi pertanian, dan alih fungsi kawasan perkebunan menjadi kota.

Lalu apa hal kecil yang bisa dilakukan untuk mencegah pemanasan global? Abet melihat, efisiensi penggunaan energi menjadi intinya.

"Gunakan energi sesuai kebutuhan. Jangan naik mobil jika tak penting dan jaraknya dekat. Jangan gunakan AC dalam ruang terbuka, karena akan menghabiskan banyak energi."
Apalagi, Indonesia adalah paru-paru dunia. Apa yang terjadi di Nusantara akibatnya bisa dirasakan di tempat lain di Bumi.
Saat Inggris dilanda banjir parah pada Februari 2013 lalu, Badan Meteorologi Inggris (Met Office) secara khusus menuding kita: "Salahkan Indonesia," kata mereka.

Sejumlah media internasional memuat tudingan itu. Misalnya Bloomberg memuat artikel berjudul 'England Floods, Blame Indonesia'. Pun dengan Long Island Newsday, memuat 'Champion: Can't stand the winter? Blame Indonesia, says Britain'.

Badan Meteorologi Inggris menyebut, cuaca ekstrem di AS dan Inggris disebabkan oleh kenaikan suhu di pesisir Indonesia dan bagian wilayah tropis di barat Pasifik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar