SEARCH..

form action="http://nama-blogmu.blogspot.com/search" method="get">

Jumat, 10 Oktober 2014

Mitos Vs Fakta Ari ‘si Kulit Ular’

09.41
Ilustrasi Ari si 'Kulit Ular'
Jakarta - Atas anjuran sang nenek, ia diberi nama Ari Wibowo. Biar ganteng seperti artis sinetron. Tangis pertamanya pecah tahun 1997 lalu di Rumah Sakit Muhammadiyah, Kebayoran Baru, Jakarta. Namun, tak seperti bayi lain, kulitnya sangat merah seperti udang rebus. Orangtuanya, juga dokter dan perawat bingung bukan kepalang melihatnya.
Dokter merujuknya ke rumah sakit yang lebih besar, RS Harapan Kita di Jakarta Barat. Agar bisa ditangani dokter spesialis. Namun, meski telah diobservasi selama sebulan, tak ada perkembangan berarti.
“Dokter bilang ini bawaan lahir. Jadi nggak bisa disembuhin,”ujar sang kakek bernama Sarpan kepada Liputan6.com.
Kala itu, program jaminan kesehatan nasional belum ada. Ayahnya, yang tukang ojek, berusaha mati-matian mengumpulkan uang Rp 3 juta untuk menebus putranya itu. Jumlah yang tak sedikit saat itu. Televisi hitam putih satu-satunya dan kambing pun mesti dijual.
Keluar dari rumah sakit, Ari nyaris tak mendapat obat. Hanya salep mahal untuk mengurangi kaku di kulitnya. “Itu pun harganya Rp 1 juta yang bisa dipakai cuma dua hari,” terang sang kakek.
Terbentur biaya, keluarga memutuskan untuk membeli obat yang lebih murah. Satu paket terdiri dari salep kulit, juga obat tetes mata dan telinga. Beban keluarga makin berat karena ayah si bayi memutuskan pergi, bercerai dengan sang ibu.
Pada 2005, Sarpan menuliskan kisah cucunya itu di salah satu media. Respons yang diterima cukup besar, sejumlah stasiun televisi nasional datang meliput sehingga pemberitaan tentang Ari yang memiliki kulit seperti ular pun menyebar.
Pihak RSUD Tangerang yang saat itu mendengar informasi tersebut langsung menuju ke rumah si bocah. Ari dirawat di rumah sakit selama 12 hari, gratis. Namun, dokter spesialis yang menanganinya angkat tangan. “Hasilnya sama aja kayak dulu, dokter bilang ini bawaan lahir, sehingga tak bisa disembuhkan namun tak menular,” terang Sarpan.
Tak hanya kulit yang bermasalah, cara bicara dan penglihatan mata Ari pun mengalami gangguan.
Tak hanya dokter, sejumlah ‘orang pintar’ pun turun tangan. Bahkan ada yang datang jauh-jauh dari Surabaya. Ari juga pernah dibawa ke Bali untuk bertemu paranormal lain. Hasilnya nihil. “Ya, bagaimana lagi, kita sudah usaha. Tapi semua bilang tak bisa sembuh,” ujar Sarpan.
Kini, yang bisa dilakukan keluarga hanyalah membelikan salep untuk dioleskan ke seluruh tubuh Ari agar kulitnya tak mengeras -- sehingga tubuhnya tak kaku dan mampu melakukan aktivitas normal.
“Buat beli salepnya nggak murah, sebulan bisa habis Rp 2 juta,” terang sang nenek, Masnah yang sehari-hari berjualan di toko kelontong kecil depan rumahnya. Mereka berharap pemerintah memberi bantuan. “Tetangga nyuruh daftar (menjadi anggota BPJS), tapi kayaknya ribet yah.”

Seandainya bisa memilih, Ari ingin seperti bocah lainnya. Bebas main sambil panas-panasan di bawah sengatan matahari.
Sepanjang hidupnya, remaja 16 tahun itu mesti rajin mengoles salep di nyaris sekujur badannya. Ia juga harus rajin-rajin membasuh tubuh dengan air. Dalam 1 jam bisa 3 sampai 4 kali. “Musim panas gini sering ke kamar mandi,” kata Ari. Di musim hujan paling satu jam sekali. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Derita dan Asa Ari 'si Kulit Ular')
Jika tak dibasuh, niscaya tubuh remaja asal Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, itu jadi kaku. Jangankan bergerak, berdiri pun sulit. Sebotol air selalu ada di dekatnya, untuk membasahi tubuh.
Siang itu misalnya, di tengah pelajaran mengaji, Ari izin keluar dari ruangan untuk membasuh kepala, dada, punggung, paha, hingga ujung kaki. Baju kokonya yang berwarna biru terlihat basah di beberapa titik.
Karena kondisinya itu, Ari tak bisa sekolah. Ditolak masuk. “Dulu pas mau masuk SD, saya coba masukin ke SD negeri deket sini ditolak. Terus ke madrasah juga ditolak. Ada-ada ajalah alasannya,” cerita Masnah, sang nenek.
Salah satu kepala sekolah mengaku takut siswa lain ketakutan sehingga tak mau bersekolah di SD yang dipimpinnya. Padahal penyakitnya sama sekali tak menular. Pihak madrasah beda alasan, khawatir Ari tidak bisa mengikuti pelajaran.
“Udah nyoba terus eh ditolak. Ya gimana ya? Kami sadar diri aja. Anak kami begitu keadaannya, ya gimana lagi?” ujar Masnah.
Belakangan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Mathodah, menyarankan agar Ari ikut ujian kesetaraan.
“Ikut ujian kesetaraan saja. Kalau usianya 17 berarti kan sudah masuk SMA dan mau lulus, jadi nanti ikut Paket C,” ungkap Mathodah. “Semua anak berhak untuk mendapat pendidikan dan punya ijazah, begitu pula dengan Ari.”
Mathodah menyesalkan pihak sekolah yang menolak. Seharusnya tak ada sekolah mana pun yang Ari yang ingin menimba ilmu hanya karena kondisinya itu.
Kini, hari-hari Ari Wibowo diisi dengan menjaga warung internet (warnet) dan belajar mengaji.

Sejak lima bulan ini, Ari mulai menjaga warnet  milik tantenya, Eva. Warnet kecil ini berada di depan tempat tinggalnya, sehingga tak memerlukan tenaga ekstra untuk menuju ke sana.
Syukurlah, kondisi fisiknya tak membuat warnet yang buka dari pukul 08.00 hingga 22.00 ini sepi pengunjung.  “Orang-orang di sini juga sudah tahu kondisi Ari, tidak menular juga penyakitnya ini, jadi nggak ada masalah, tetap ramai warnetnya,” terang Eva.
Usai makan siang, sekitar pukul 12.00, Ari bersiap-siap untuk ikut kelas mengaji di Majelis Taklim Nurul Anwar, Tegal Rotan, yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasinya berada. “Sudah lama dia belajar mengaji di sini. Ya masak sudah ditolak di sekolah di sini juga ditolak?! Ari kan sama seperti kita: manusia,” tutur Fatimah salah satu pengajar di kelas mengaji ini.
Fatimah menceritakan, kondisi Ari awalnya membuat sejumlah anak takut. Bocah-bocah bahkan tega menyebutnya ‘monster’. Ada yang berpindah jam, ada pula yang memutuskan tidak mengaji.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan Ari makin diterima. Ia pun berinteraksi dengan anak-anak lain tanpa rasa risih dan sungkan. Selain ilmu agama, di sana Ari juga belajar menulis dan menggambar.
Yang terakhir adalah hobi Ari. Ia bisa menggambar dengan bagus. “Paling suka gambar kucing dan kelinci,” tutur Ari lirih. Ia juga belajar menggambar dengan komputer, pakai aplikasi Paint. “Sambil nunggu warnet.”
Ari dan kondisinya yang tak biasa mendunia saat sejumlah media asing memuat kisahnya. Salah satunya situs media Inggris Daily Mail yang memuat artikel berjudul, "The 'Snake Boy' who has shed his skin every 41 days since he was born... and must soak himself in water every one hour to stay alive" pada 24 September 2014. Salah satu yang ada dalam artikel adalah soal mitos penyakit Ari adalah 'kutukan' karena ibunya diduga membunuh kadal saat mengandung dirinya.
Namun beberapa pembaca dari berbagai belahan dunia membela remaja malang tapi tabah itu. "Tuhan memberkatimu, sayang, atas semua kebencian dan prasangka yang kau alami. Semoga Yang Maha Kuasa memberimu kekuatan," tulis Mel dari India.

"Simpatiku untuknya. Bocah malang itu terlihat sangat menderita. Apa yang ia lami membuat hal-hal yang kerap aku keluhkan dalam hidupku terasa konyol. Aku berpendapat, dia pasti anak yang baik," tulis Mommamia, dari Carson City, AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar