09.41
Jakarta - Atas anjuran sang nenek, ia diberi nama Ari Wibowo.
Biar ganteng seperti artis sinetron. Tangis pertamanya pecah tahun 1997
lalu di Rumah Sakit Muhammadiyah, Kebayoran Baru, Jakarta. Namun, tak
seperti bayi lain, kulitnya sangat merah seperti udang rebus.
Orangtuanya, juga dokter dan perawat bingung bukan kepalang melihatnya.
Dokter merujuknya ke rumah sakit yang lebih besar, RS Harapan Kita di
Jakarta Barat. Agar bisa ditangani dokter spesialis. Namun, meski telah
diobservasi selama sebulan, tak ada perkembangan berarti.
“Dokter bilang ini bawaan lahir. Jadi nggak bisa disembuhin,”ujar sang kakek bernama Sarpan kepada Liputan6.com.
Kala itu, program jaminan kesehatan nasional belum ada. Ayahnya, yang
tukang ojek, berusaha mati-matian mengumpulkan uang Rp 3 juta untuk
menebus putranya itu. Jumlah yang tak sedikit saat itu. Televisi hitam
putih satu-satunya dan kambing pun mesti dijual.
Keluar dari rumah sakit, Ari nyaris tak mendapat obat. Hanya salep
mahal untuk mengurangi kaku di kulitnya. “Itu pun harganya Rp 1 juta
yang bisa dipakai cuma dua hari,” terang sang kakek.
Terbentur biaya, keluarga memutuskan untuk membeli obat yang lebih
murah. Satu paket terdiri dari salep kulit, juga obat tetes mata dan
telinga. Beban keluarga makin berat karena ayah si bayi memutuskan
pergi, bercerai dengan sang ibu.
Pada 2005, Sarpan menuliskan kisah cucunya itu di salah satu media.
Respons yang diterima cukup besar, sejumlah stasiun televisi nasional
datang meliput sehingga pemberitaan tentang Ari yang memiliki kulit
seperti ular pun menyebar.
Pihak RSUD Tangerang yang saat itu mendengar informasi tersebut
langsung menuju ke rumah si bocah. Ari dirawat di rumah sakit selama 12
hari, gratis. Namun, dokter spesialis yang menanganinya angkat tangan.
“Hasilnya sama aja kayak dulu, dokter bilang ini bawaan lahir, sehingga
tak bisa disembuhkan namun tak menular,” terang Sarpan.
Tak hanya kulit yang bermasalah, cara bicara dan penglihatan mata Ari pun mengalami gangguan.
Tak hanya dokter, sejumlah ‘orang pintar’ pun turun tangan. Bahkan
ada yang datang jauh-jauh dari Surabaya. Ari juga pernah dibawa ke Bali
untuk bertemu paranormal lain. Hasilnya nihil. “Ya, bagaimana lagi, kita
sudah usaha. Tapi semua bilang tak bisa sembuh,” ujar Sarpan.
Kini, yang bisa dilakukan keluarga hanyalah membelikan salep untuk
dioleskan ke seluruh tubuh Ari agar kulitnya tak mengeras -- sehingga
tubuhnya tak kaku dan mampu melakukan aktivitas normal.
“Buat beli salepnya nggak murah, sebulan bisa habis Rp 2 juta,”
terang sang nenek, Masnah yang sehari-hari berjualan di toko kelontong
kecil depan rumahnya. Mereka berharap pemerintah memberi bantuan.
“Tetangga nyuruh daftar (menjadi anggota BPJS), tapi kayaknya ribet yah.”
Seandainya bisa memilih, Ari ingin seperti bocah lainnya. Bebas main sambil panas-panasan di bawah sengatan matahari.
Sepanjang hidupnya, remaja 16 tahun itu mesti rajin mengoles salep di
nyaris sekujur badannya. Ia juga harus rajin-rajin membasuh tubuh
dengan air. Dalam 1 jam bisa 3 sampai 4 kali. “Musim panas gini sering
ke kamar mandi,” kata Ari. Di musim hujan paling satu jam sekali. (Baca
juga: [INFOGRAFIS] Derita dan Asa Ari 'si Kulit Ular')
Jika tak dibasuh, niscaya tubuh remaja asal Pondok Aren, Tangerang
Selatan, Banten, itu jadi kaku. Jangankan bergerak, berdiri pun sulit.
Sebotol air selalu ada di dekatnya, untuk membasahi tubuh.
Siang itu misalnya, di tengah pelajaran mengaji, Ari izin keluar dari
ruangan untuk membasuh kepala, dada, punggung, paha, hingga ujung kaki.
Baju kokonya yang berwarna biru terlihat basah di beberapa titik.
Karena kondisinya itu, Ari tak bisa sekolah. Ditolak masuk. “Dulu pas
mau masuk SD, saya coba masukin ke SD negeri deket sini ditolak. Terus
ke madrasah juga ditolak. Ada-ada ajalah alasannya,” cerita Masnah, sang
nenek.
Salah satu kepala sekolah mengaku takut siswa lain ketakutan sehingga
tak mau bersekolah di SD yang dipimpinnya. Padahal penyakitnya sama
sekali tak menular. Pihak madrasah beda alasan, khawatir Ari tidak bisa
mengikuti pelajaran.
“Udah nyoba terus eh ditolak. Ya gimana ya? Kami sadar diri aja. Anak kami begitu keadaannya, ya gimana lagi?” ujar Masnah.
Belakangan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Mathodah, menyarankan agar Ari ikut ujian kesetaraan.
“Ikut ujian kesetaraan saja. Kalau usianya 17 berarti kan sudah masuk
SMA dan mau lulus, jadi nanti ikut Paket C,” ungkap Mathodah. “Semua
anak berhak untuk mendapat pendidikan dan punya ijazah, begitu pula
dengan Ari.”
Mathodah menyesalkan pihak sekolah yang menolak. Seharusnya tak ada
sekolah mana pun yang Ari yang ingin menimba ilmu hanya karena
kondisinya itu.
Kini, hari-hari Ari Wibowo diisi dengan menjaga warung internet (warnet) dan belajar mengaji.
Sejak lima bulan ini, Ari mulai menjaga warnet milik tantenya, Eva.
Warnet kecil ini berada di depan tempat tinggalnya, sehingga tak
memerlukan tenaga ekstra untuk menuju ke sana.
Syukurlah, kondisi fisiknya tak membuat warnet yang buka dari pukul
08.00 hingga 22.00 ini sepi pengunjung. “Orang-orang di sini juga sudah
tahu kondisi Ari, tidak menular juga penyakitnya ini, jadi nggak ada
masalah, tetap ramai warnetnya,” terang Eva.
Usai makan siang, sekitar pukul 12.00, Ari bersiap-siap untuk ikut
kelas mengaji di Majelis Taklim Nurul Anwar, Tegal Rotan, yang berjarak
sekitar satu kilometer dari lokasinya berada. “Sudah lama dia belajar
mengaji di sini. Ya masak sudah ditolak di sekolah di sini juga
ditolak?! Ari kan sama seperti kita: manusia,” tutur Fatimah salah satu
pengajar di kelas mengaji ini.
Fatimah menceritakan, kondisi Ari awalnya membuat sejumlah anak
takut. Bocah-bocah bahkan tega menyebutnya ‘monster’. Ada yang berpindah
jam, ada pula yang memutuskan tidak mengaji.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan Ari makin diterima. Ia pun
berinteraksi dengan anak-anak lain tanpa rasa risih dan sungkan. Selain
ilmu agama, di sana Ari juga belajar menulis dan menggambar.
Yang terakhir adalah hobi Ari. Ia bisa menggambar dengan bagus.
“Paling suka gambar kucing dan kelinci,” tutur Ari lirih. Ia juga
belajar menggambar dengan komputer, pakai aplikasi Paint. “Sambil nunggu
warnet.”
Ari dan kondisinya yang tak biasa mendunia saat sejumlah media asing
memuat kisahnya. Salah satunya situs media Inggris Daily Mail yang
memuat artikel berjudul, "The 'Snake Boy' who has shed his skin
every 41 days since he was born... and must soak himself in water every
one hour to stay alive" pada 24 September 2014. Salah satu yang ada
dalam artikel adalah soal mitos penyakit Ari adalah 'kutukan' karena
ibunya diduga membunuh kadal saat mengandung dirinya.
Namun beberapa pembaca dari berbagai belahan dunia membela remaja
malang tapi tabah itu. "Tuhan memberkatimu, sayang, atas semua kebencian
dan prasangka yang kau alami. Semoga Yang Maha Kuasa memberimu
kekuatan," tulis Mel dari India.
"Simpatiku untuknya. Bocah
malang itu terlihat sangat menderita. Apa yang ia lami membuat hal-hal
yang kerap aku keluhkan dalam hidupku terasa konyol. Aku berpendapat,
dia pasti anak yang baik," tulis Mommamia, dari Carson City, AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar