SEARCH..

form action="http://nama-blogmu.blogspot.com/search" method="get">

Rabu, 06 Agustus 2014

Gugatan yang menjerumuskan Prabowo

            Gugatan yang menjerumuskan Prabowo
Rabu (6/8) ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan hasil pemilu presiden yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (22/8) lalu. Ini adalah langkah terakhir pasangan Prabowo-Hatta untuk membalikkan keadaan. Tentu jika MK menerima gugatannya; jika tidak, ya mau tidak mau harus legowo, ikhlas.

Dari penampilannya di publik dalam dua pekan terakhir, tampak Prabowo mulai reda jiwanya. Sepertinya dia sudah berhasil mengendalikan diri, sehingga benar-benar siap menerima hasil apapun yang diputuskan MK. Dia mungkin sudah menerima semua masukan, dia mungkin juga sudah mengikuti pemberitaan semua media, sehingga mau tidak mau harus kembali jadi manusia rasional, berbesar hati menerima kenyataan.

Yang jadi masalah adalah orang-orang di sekitarnya, para pembisiknya. Masihkah mereka terus meniupkan mimpi-mimpi kosong ke telinga Prabowo, sehingga akan membuat dia terjerumus ke jurang kenistaan semakin dalam? Atau mereka meyakinkan Prabowo untuk bangkit menjadi manusia normal, dengan menyadari sepenuhnya, bahwa dalam kompetisi, kalah menang adalah biasa?

Tanpa bermaksud mendahului keputusan MK, materi gugatan yang diajukan oleh kuasa hukum Prabowo memang tidak meyakinkan. Saking kacaunya gugatan itu, setelah MK mempublikasikan ke dunia maya, materi gugatan itu jadi bahan olok-olok banyak orang. Tidak hanya salah ketik dan salah kopi paste, tapi logika gugatan juga tidak masuk akal. Bahkan setelah berkas gugatan diperbaiki, kondisinya tidak banyak berubah.

Apabila berkas gugatan yang dibaca hakim konstitusi sama dengan yang dipublikasikan lewat situs MK, maka dalam sidang pertama ini, setelah kuasa hukum membacakan gugatan, pasti akan banyak sekali catatan perbaikan hakim konstitusi.

Sesungguhnya, catatan-catatan perbaikan itu biasa saja dalam perkara hasil pemilu (PHPU). Namun jika jumlahnya banyak, maka gugatan itu sesungguhnya tidak jelas. Tentu ini menyangkut reputasi puluhan kuasa hukum yang menyusun gugatan, dan tim kampanye yang membantu memberi masukan bukti dan saksi dari lapangan.

Jika gugatan tidak jelas, lalu apa saja yang mereka kerjakan dalam dua pekan ini? Jika memang bukti dan saksi tidak mencukupi, mengapa mereka paksakan Prabowo-Hatta untuk mengajukan gugatan ke MK? Bukankah gugatan yang buruk ini akan menjauhkan Prabowo-Hatta dari predikat negarawan?

Dalam persidangan tahap pertama, hakim biasanya juga akan menanyakan legal standing penggugat. Dalam hal ini tidak jadi masalah, sejauh Prabowo dan Hatta, masing-masing sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, membubuhkan tanda tangan persetujuan pengajuan gugatan.

Apabila perbaikan sudah dilakukan, hakim konstitusi biasanya akan meneruskan persidangan, tanpa memedulikan perbaikan itu sudah sesuai dengan permintaan hakim atau tidak. Sebab jika perbaikan tidak sesuai permintaan, akhirnya toh akan ketahuan sepanjang persidangan pembuktian.

Sejauh mengikuti pernyataan para kuasa hukum, mereka mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif sehingga pasangan Prabowo-Hatta kalah dalam pemilu presiden lalu. Siapa pelaku pelanggaran itu? Sejauh ini kuasa hukum Prabowo-Hatta menuduh penyelenggara. Ini berbeda dalam perkara gugatan pilkada di mana pasangan calon, biasanya incumbent, dituduh sebagai pelaku utama.

Sungguh tidak mudah membuktikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu. Ini sebetulnya dalil gugatan yang dibuka MK ketika dipimpin Mahfud MD, sehingga hakim konstitusi tidak berkutat pada hitung-hitungan suara semata. Makanya ketika Mahfud menyatakan tugasnya sudah selesai sebagai tim pemenangan sehingga tidak terlibat dalam pengajua gugatan sesungguhnya dia sudah tahu betapa sulitnya soal ini.

Pertama, tentang pelanggaran terstruktur, penggugat harus bisa menunjukkan bahwa ada struktur kekuasaan, baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan penyelenggara pemilu, yang bekerja secara hirarkis dan teknis untuk memenangkan pasangan calon yang lain. Dalam hal ini kesaksian saja tidak cukup, tetapi juga diperlukan barang bukti otentik.

Kedua, tentang pelanggaran sistematis, penggugat harus bisa menunjukkan bahwa ada sistem yang bekerja untuk memenangkan pasangan calon lain. Bekerjanya sistem itu ditandai oleh gejala-gejala atau tanda-tanda yang saling berhubungan antara satu titik penyelenggaraan pemilu dengan titik yang lain, sehingga Prabowo-Hatta tidak berkutik untuk mendulang suara lebih banyak. Tentu kuasa hukum harus bisa menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tenda tersebut berdasarkan bukti dan saksi.

Ketiga, tentang pelanggaran masif, penggugat harus bisa membuktikan bahwa pelanggaran itu terjadi di mana-mana. Tidak hanya di satu dua TPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi, tetapi terjadi di semua, atau setidaknya sebagian besar TPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi tersebut. Tentu berat membuktikannya, tapi jika tidak bisa, yang pasti gugatan ditolak hakim.

Apabila kuasa hukum Prabowo-Hatta kesulitan membuktikan adalah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, maka mereka bisa mengedepankan dalil yang lain, yakni terjadi salah hitung oleh penyelenggara KPU. Dalam hitungan tim pemenangan Prabowo-Hatta (tentu berdasarkan C-1 yang mereka miliki), pasangan ini menang, sehingga MK harus mengoreksi hitungan KPU yang memenangkan pasangan calon lain.

Menurut hitungan KPU, Jokowi-JK meraih 70.997.833 (53,15%) suara, sedang Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 (46,85%). Dengan demikian perbedaan suara kedua pasangan itu adalah 8.421.389 (6,30%). Itu artinya, untuk membuktikan dalilnya bahwa mestinya pasangan Prabowo-Hatta yang menang, maka kuasa hukum pasangan ini harus bisa menunjukkan sedikitnya 4.210.694 + 1 atau (3,15% +) suara mestinya masuk dalam hitungan Prabowo-Hatta, yang oleh KPU dimasukkan dalam hitungan Jokowi-Hatta.

Jika bisa membuktikan salah hitung KPU menyangkut sedikitnya sebesar 4.210.694 suara tersebut, maka Prabowo-Hatta bisa dimenangkan MK. Jika tidak bisa dibuktikan sama sekali, atau yang bisa dibuktikan di bawah 4.210.694 suara, maka MK membenarkan keputusan KPU, sehingga Jokowi-Hatta tetap sebagai pemenang pemilu presiden.

Sekali lagi, tanpa bermaksud mendahului putusan MK, materi gugatan kuasa hukum Prabowo-Hatta yang amburadul, sudah menunjukkan bahwa mereka kesulitan untuk membalikkan keadaan. Jangankan mebuktikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, membuktikan adanya 4.210.694 suara saja mereka tampak akan kesulitan.

Seadainya benar, bahwa mereka membawa bukti C-1 dan formulir-formulir lainnya sampai 10 truk, mungkin mereka bisa menunjukkan tanda-tanda kebenaran klaimnya. Tapi pernyataan kuasa hukum Prabowo-Hatta tersebut hanya abab belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar