
Rabu (6/8) ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan
hasil pemilu presiden yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Selasa (22/8) lalu. Ini adalah langkah terakhir pasangan Prabowo-Hatta
untuk membalikkan keadaan. Tentu jika MK menerima gugatannya; jika
tidak, ya mau tidak mau harus legowo, ikhlas.
Dari penampilannya
di publik dalam dua pekan terakhir, tampak Prabowo mulai reda jiwanya.
Sepertinya dia sudah berhasil mengendalikan diri, sehingga benar-benar
siap menerima hasil apapun yang diputuskan MK. Dia mungkin sudah
menerima semua masukan, dia mungkin juga sudah mengikuti pemberitaan
semua media, sehingga mau tidak mau harus kembali jadi manusia rasional,
berbesar hati menerima kenyataan.
Yang jadi masalah adalah
orang-orang di sekitarnya, para pembisiknya. Masihkah mereka terus
meniupkan mimpi-mimpi kosong ke telinga Prabowo, sehingga akan membuat
dia terjerumus ke jurang kenistaan semakin dalam? Atau mereka meyakinkan
Prabowo untuk bangkit menjadi manusia normal, dengan menyadari
sepenuhnya, bahwa dalam kompetisi, kalah menang adalah biasa?
Tanpa
bermaksud mendahului keputusan MK, materi gugatan yang diajukan oleh
kuasa hukum Prabowo memang tidak meyakinkan. Saking kacaunya gugatan
itu, setelah MK mempublikasikan ke dunia maya, materi gugatan itu jadi
bahan olok-olok banyak orang. Tidak hanya salah ketik dan salah kopi
paste, tapi logika gugatan juga tidak masuk akal. Bahkan setelah berkas
gugatan diperbaiki, kondisinya tidak banyak berubah.
Apabila
berkas gugatan yang dibaca hakim konstitusi sama dengan yang
dipublikasikan lewat situs MK, maka dalam sidang pertama ini, setelah
kuasa hukum membacakan gugatan, pasti akan banyak sekali catatan
perbaikan hakim konstitusi.
Sesungguhnya, catatan-catatan
perbaikan itu biasa saja dalam perkara hasil pemilu (PHPU). Namun jika
jumlahnya banyak, maka gugatan itu sesungguhnya tidak jelas. Tentu ini
menyangkut reputasi puluhan kuasa hukum yang menyusun gugatan, dan tim
kampanye yang membantu memberi masukan bukti dan saksi dari lapangan.
Jika
gugatan tidak jelas, lalu apa saja yang mereka kerjakan dalam dua pekan
ini? Jika memang bukti dan saksi tidak mencukupi, mengapa mereka
paksakan Prabowo-Hatta untuk mengajukan gugatan ke MK? Bukankah gugatan
yang buruk ini akan menjauhkan Prabowo-Hatta dari predikat negarawan?
Dalam
persidangan tahap pertama, hakim biasanya juga akan menanyakan legal
standing penggugat. Dalam hal ini tidak jadi masalah, sejauh Prabowo dan
Hatta, masing-masing sebagai calon presiden dan calon wakil presiden,
membubuhkan tanda tangan persetujuan pengajuan gugatan.
Apabila
perbaikan sudah dilakukan, hakim konstitusi biasanya akan meneruskan
persidangan, tanpa memedulikan perbaikan itu sudah sesuai dengan
permintaan hakim atau tidak. Sebab jika perbaikan tidak sesuai
permintaan, akhirnya toh akan ketahuan sepanjang persidangan pembuktian.
Sejauh mengikuti pernyataan para kuasa hukum, mereka
mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif
sehingga pasangan Prabowo-Hatta kalah dalam pemilu presiden lalu. Siapa
pelaku pelanggaran itu? Sejauh ini kuasa hukum Prabowo-Hatta menuduh
penyelenggara. Ini berbeda dalam perkara gugatan pilkada di mana
pasangan calon, biasanya incumbent, dituduh sebagai pelaku utama.
Sungguh
tidak mudah membuktikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif
itu. Ini sebetulnya dalil gugatan yang dibuka MK ketika dipimpin Mahfud
MD, sehingga hakim konstitusi tidak berkutat pada hitung-hitungan suara
semata. Makanya ketika Mahfud menyatakan tugasnya sudah selesai sebagai
tim pemenangan sehingga tidak terlibat dalam pengajua gugatan
sesungguhnya dia sudah tahu betapa sulitnya soal ini.
Pertama,
tentang pelanggaran terstruktur, penggugat harus bisa menunjukkan bahwa
ada struktur kekuasaan, baik di lingkungan pemerintahan maupun di
lingkungan penyelenggara pemilu, yang bekerja secara hirarkis dan teknis
untuk memenangkan pasangan calon yang lain. Dalam hal ini kesaksian
saja tidak cukup, tetapi juga diperlukan barang bukti otentik.
Kedua,
tentang pelanggaran sistematis, penggugat harus bisa menunjukkan bahwa
ada sistem yang bekerja untuk memenangkan pasangan calon lain.
Bekerjanya sistem itu ditandai oleh gejala-gejala atau tanda-tanda yang
saling berhubungan antara satu titik penyelenggaraan pemilu dengan titik
yang lain, sehingga Prabowo-Hatta tidak berkutik untuk mendulang suara
lebih banyak. Tentu kuasa hukum harus bisa menunjukkan gejala-gejala
atau tanda-tenda tersebut berdasarkan bukti dan saksi.
Ketiga,
tentang pelanggaran masif, penggugat harus bisa membuktikan bahwa
pelanggaran itu terjadi di mana-mana. Tidak hanya di satu dua TPS, PPS,
PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi, tetapi terjadi di semua, atau
setidaknya sebagian besar TPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU
provinsi tersebut. Tentu berat membuktikannya, tapi jika tidak bisa,
yang pasti gugatan ditolak hakim.
Apabila kuasa hukum
Prabowo-Hatta kesulitan membuktikan adalah pelanggaran terstruktur,
sistematis, dan masif, maka mereka bisa mengedepankan dalil yang lain,
yakni terjadi salah hitung oleh penyelenggara KPU. Dalam hitungan tim
pemenangan Prabowo-Hatta (tentu berdasarkan C-1 yang mereka miliki),
pasangan ini menang, sehingga MK harus mengoreksi hitungan KPU yang
memenangkan pasangan calon lain.
Menurut hitungan KPU, Jokowi-JK
meraih 70.997.833 (53,15%) suara, sedang Prabowo-Hatta meraih 62.576.444
(46,85%). Dengan demikian perbedaan suara kedua pasangan itu adalah
8.421.389 (6,30%). Itu artinya, untuk membuktikan dalilnya bahwa
mestinya pasangan Prabowo-Hatta yang menang, maka kuasa hukum pasangan
ini harus bisa menunjukkan sedikitnya 4.210.694 + 1 atau (3,15% +) suara
mestinya masuk dalam hitungan Prabowo-Hatta, yang oleh KPU dimasukkan
dalam hitungan Jokowi-Hatta.
Jika bisa membuktikan salah hitung
KPU menyangkut sedikitnya sebesar 4.210.694 suara tersebut, maka
Prabowo-Hatta bisa dimenangkan MK. Jika tidak bisa dibuktikan sama
sekali, atau yang bisa dibuktikan di bawah 4.210.694 suara, maka MK
membenarkan keputusan KPU, sehingga Jokowi-Hatta tetap sebagai pemenang
pemilu presiden.
Sekali lagi, tanpa bermaksud mendahului putusan
MK, materi gugatan kuasa hukum Prabowo-Hatta yang amburadul, sudah
menunjukkan bahwa mereka kesulitan untuk membalikkan keadaan. Jangankan
mebuktikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, membuktikan
adanya 4.210.694 suara saja mereka tampak akan kesulitan.
Seadainya
benar, bahwa mereka membawa bukti C-1 dan formulir-formulir lainnya
sampai 10 truk, mungkin mereka bisa menunjukkan tanda-tanda kebenaran
klaimnya. Tapi pernyataan kuasa hukum Prabowo-Hatta tersebut hanya abab
belaka.